Terima kasih atas perhatian, saran dan kritik anda. Blog ini sedang dilakukan proses pengembangan. Silahkan kirim tulisan ke alamat email kawulatemanggung@gmail.com

Selamat Datang bersama Kawula Temanggung

"Saiyeg Saeoko Proyo" menjadi modal dasar untuk membangun daerah kita. Bersatu dan bergotong-royong akan meringankan beban-beban yang selama ini dapat menghambat segala laju potensi. Temanggung merupakan wilayah subur dengan sumber daya manusia yang ulet, tekun dan kuat. Hal ini akan menjadi modal besar bagi kita untuk mewujudkan cita-cita masyarakat Temanggung yang mandiri dan berdaya.

Saturday, March 28, 2009

ANARKISME PEMILU

Oleh Fajrimei A. Gofar


Hari pencoblosan – sekarang pencontrengan – sudah dekat, namun, dalam proses Pemilu 2009 yang sedang berjalan sekarang ini telah terjadi anarkisme. Anarkisme di sini bukan diartikan sebagai kebrutalan, destruktif, atau chaotic seperti yang dimaknai khalayak umum selama ini. Melainkan sebuah konsep yang menolak gagasan-gagasan tentang otoritas dan kepatuhan, kekangan sosial dan struktur hirarkis, terutama otoritas yang tersentral.

Anarkisme di sini lebih digunakan sebagai usaha untuk menggambarkan tindakan yang tidak mengakui atau mengabaikan otoritas hukum yang tersentral sebagai bangunan yang utuh dari sebuah sistem hukum. Dengan kata lain, menolak untuk patuh pada otoritas sistem hukum yang berlaku, atau mencoba melepaskan diri (lari) dari otoritas itu.

Selama ini kita cenderung memaknai pemilu hanya sebatas agenda politik.Padahal sebetulnya pemilu juga merupakan peristiwa hukum, karena ada akibat-akibat hukum yang timbul dari perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan para pihak dalam pemilu. Dengan demikian, sudah seharusnya dalam pemilu berlaku pula otoritas hukum. Bukan otoritas hukum yang terpecah dan terbagi-bagi. Melainkan otoritas hukum yang utuh dalam artian sebagai bangunan besar sistem hukum yang berlaku beserta konsep-konsep dan prinsip-prinsipnya. Inilah sebetulnya makna negara hukum sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, yaitu ada penghormatan terhadap otoritas hukum.

Perilaku anarkisme semacam itu tergambar dengan jelas paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-VI/2008 berkaitan dengan kepesertaan dalam Pemilu 2009. MK menyatakan Pasal 316 huruf d UU No 10/2008 tidak mempunyai kekuatan berlaku mengikat. Putusan ini kemudian dijadikan dasar bagi parpol-parpol peserta pemilu 2004 untuk menggugat putusan KPU tentang peserta pemilu ke PTUN. Padahal parpol-parpol ini tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dan Pasal 316 UU No 10/2008 yang mengatur tentang syarat-syarat menjadi peserta pemilu.

Gugatan tersebut kemudian dimenangkan dan KPU juga mengakomodirnya dengan menjadikan parpol-parpol itu sebagai peserta juga dalam Pemilu 2009. Alasan KPU adalah karena dalam Putusan MK tercantum kata-kata, “...apabila bermaksud memberikan kemudahan maka seyogyanya peserta Pemilu 2004 itu menjadi peserta Pemilu 2009 tanpa melakukan verifikasi…” Akibat putusan PTUN tersebut, persyaratan dalam UU No 10/2008 menjadi tidak berguna. Putusan MK dimaknai sebagai penghapusan semua persyaratan untuk menjadi peserta pemilu. Putusan MK dianggap telah menciptakan norma yang harus ditaati yang mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada.

Anarkisme juga tergambar setelah putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang berkaitan dengan tata cara penetapan calon legislatif (caleg) terpilih. MK menyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No 10/2008. Putusan ini intinya menyatakan penetapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut tidak berlaku lagi.

Paska putusan tersebut ada dua wacana yang berkembang. Pertama, melalui putusan MK tersebut maka penentuan caleg terpilih adalah melalui suara terbanyak. Kedua, ada kekosongan hukum tentang penetapan caleg terpilih karena telah dicabut oleh MK. Oleh karenanya diperlukan aturan yang menggantikannya, ada yang mengusulkan Perpu dan ada juga yang mengusulkannya melalui peraturan KPU. Paska putusan MK ada kegamangan dalam menentukan caleg terpilih.

Dalam hal ini, ada kekeliruan yang sangat mendasar dalam memaknai putusan MK. Putusan MK tidak dimaknai dalam kerangka utuh suatu sistem hukum. Persis di sinilah letak anarkismenya. Putusan MK dianggap mempunyai otoritas tersendiri yang terlepas dari otoritas besar dari sistem hukum.

Perlu dicatat bahwa putusan MK itu bersifat deklaratif. Putusan MK hanya menyatakan situasi tertentu atas ketentuan tertentu. Putusan MK tidak menciptakan norma (aturan) baru. MK tidak mempunyai otoritas untuk menciptakan aturan baru. Putusan MK hanya menyatakan bahwa pasal itu tidak mempunyai kekuatan berlaku mengikat karena bertentangan dengan konstitusi.

Pernyataan deklaratif tersebut bukan berarti pula telah terjadi kekosongan hukum. Putusan MK tidak menjadikan aturan mengenai penentuan caleg terpilih menjadi lenyap, aturan itu masih tetap ada. Aturan itu masih terus dapat menjadi dasar hukum sepanjang aturan tersebut belum digantikan aturan yang baru. Persis di sinilah sebenarnya arti prinsip non-retroactivity dalam hukum. Dengan demikian, putusan MK tidak mempunyai akibat apa pun dalam proses penentuan caleg terpilih – sepanjang aturan tersebut belum digantikan yang baru.

Putusan MK hanya menimbulkan akibat adanya kewajiban kepada legislator (Pemerintah dan DPR) untuk membentuk aturan baru yang menggantikan aturan yang dinyatakan tidak berlaku itu. Sayangnya, sampai saat ini, kewajiban semacam ini belum menjadi kewajiban hukum – situasi inilah yang sebetulnya harus dimaknai sebagai kekosongan hukum.

Dengan demikian, kalau semua pihak masih tunduk pada otoritas hukum yang utuh, maka sebetulnya tidak perlu grasa-grusu menyesuaikan sistem penetapan caleg terpilih berdasarkan putusan MK. Sekali lagi perlu diingat, MK tidak membentuk norma baru. Membentuk norma setingkat undang-undang semacam itu hanya kewenangan pemerintah dan DPR. Aturan lama tentang nomor urut harus tetap dijalankan sepanjang belum ada aturan baru yang menggantikannya.

Jika otoritas hukum diabaikan, tidak dipatuhi baik dalam interpretasi maupun penerapan, maka kekacauan hukum akan berkembang menjadi kekacauan yang lainnya. Sehingga, anarkisme sebagaimana dipahami khalayak umum dapat terjadi dalam proses pemilu legislatif 2009 ini. Jangan sampai Pemilu 2009 ini mengalami kekisruhan seperti di sejumlah pilkada.

Sumber: Prakarsa Rakyat

No comments: