Terima kasih atas perhatian, saran dan kritik anda. Blog ini sedang dilakukan proses pengembangan. Silahkan kirim tulisan ke alamat email kawulatemanggung@gmail.com

Selamat Datang bersama Kawula Temanggung

"Saiyeg Saeoko Proyo" menjadi modal dasar untuk membangun daerah kita. Bersatu dan bergotong-royong akan meringankan beban-beban yang selama ini dapat menghambat segala laju potensi. Temanggung merupakan wilayah subur dengan sumber daya manusia yang ulet, tekun dan kuat. Hal ini akan menjadi modal besar bagi kita untuk mewujudkan cita-cita masyarakat Temanggung yang mandiri dan berdaya.

Sunday, January 25, 2009

KESADARAN POLITIS RAKYAT PEKERJA

Oleh Ayub Dwi Anggoro *

Melalui segala taktik dan strateginya, kapitalisme mampu tumbuh subur dalam sistem yang biasa disebut negara. Negara dalam konsep dialektiknya Hegel mengatakan bahwa negara adalah ungkapan roh obyektif dimana roh obyektif tersebut merupakan cerminan dari kehendak pikiran dan hasrat masing-masing individu (roh subyektif). Dengan demikian negara merupakan institusi yang paling paham atas kehendak para individu; rakyat tak mengetahui kehendaknya, yang mengetahui adalah negara, karena ia secara objektif mengungkapkan apa yang bagi rakyat hanya ada secara “subyektif” (Magnis Suseno, 1992).

Sebuah retorika yang sangat indah ketika gambaran sebuah sistem dicita-citakan untuk kepentingan luhur. Namun hal itu akan terwujud jika tinjauan historis pembentukan negara didasarkan dengan meniadakan segala bentuk kepentingan manusia untuk mendominasi manusia yang lain dan biasa kita kenal dengan aktivitas politik, tentulah negara baru bisa disebut merupakan roh objektif. Walaupun hari ini konteks tersebut memang tidak terjadi, sehingga menjadikan negara merupakan suatu alat untuk mengakuisisi kepentingan suatu kelompok. Sehingga akan memunculkan kelompok lain yang termarginalkan dan tertindas. Kontradiksi historis yang terjadi hampir tidak ada negara yang mampu memberikan jaminan kesejahteraan dan keadilan. Ideologi apapun yang dipakai oleh negara semodern atau sebesar apapun hampir tidak ada yang bisa melepaskan diri dari dosa penindasan. Entah apa yang terjadi?. Hari ini realitasnya kita sudah terjebak pada bangunan sistematis yang dinamakan negara.
Melihat bangunan sistematis hari ini, negara kita sendiri seakan menggambarkan realitas sosial bahwa telah terjadi dominasi, mendominasi dan terdominasi. Dominasi dan mendominasi atau lebih tepatnya adalah hegemoni hari ini dilakukan oleh kaum pemodal yang memanfaatkan dan mendomplengi negara. Sudah jelas yang terdominasi adalah kelas proletar atau yang biasa disebut sebagai kaum pekerja. Kaum pemodal yang akrab disapa sebagai kelas borjuis dengan segala kelihaiannya untuk mengelola uang yang dikatakan pada peradaban modern adalah merupakan simbol dan kunci untuk mencapai kesejahteraan, menghegemoni dan mampu menciptakan sebuah tatanan rekayasa sosial baik dalam sisi budaya, politik dan hukum sampai memasuki ranah religi, hingga mampu membiaskan konteks tentang pemaknaan manusia itu sendiri.

Negara yang seharusnya menjadi pelindung bagi masyarakat, kini dijadikan oleh rezim yang hari ini memimpin sebagai alat untuk mengkontrol masyarakat, agar tetap tunduk, diam dan mengikuti permainan rezim untuk mempertahankan, melindungi dan menyelamatkan kaum kapitalis. Jika ditinjau dari peran negara yang teramanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, berarti negara tidak mampu untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Hal ini mungkin disebabkan karena ketidakpercayadirian dari negara untuk mengelola sumber daya alam dan kekayaannya yang ada di Republik Indonesia.

Penindasan, pemarjinalan hingga hari ini akan tetap dan terus terjadi. Dan yang akan menjadi korban adalah rakyat yang tidak mempunyai perspektif politik negara apapun kecuali hanya ingin tetap untuk bertahan hidup. Maka penyelamatan dari golongan tersebut harus segera dilakukan. Karena hal tersebut merupakan kunci menciptakan peradaban yang lebih humanis.

Persatuan dan pembangunan watak kelas sosial

Dalam perkembangan kapitalisme modern hari ini, strategi yang dilakukan adalah pemecahan kelas sosial. Sehingga ketika terjadi perpecahan, otomatis solidaritas dan persatuan di antara satu kelompok kelas sosial menjadi hilang. Strategi inilah yang sangat mujarab untuk menanamkan dan memuluskan rekayasa sosial masyarakat untuk mendukung dan menjalankan arus kepentingan kaum kapitalis. Negara hanya dijadikan sebagai penghasil regulasi untuk didoktrinisasikan sebagai tata aturan main dalam menjalankan kehidupan. Hal tersebut semakin memperlengakap strategi pemecahan kelas sosial, dengan dalih jika tidak dijalankan maka otomatis eksistensi negara menjadi hilang. Sehingga banyak muncul jargon-jargon yang dilakukan oleh elit birokrasi, “Jika cinta terhadap tanah air maka jalankan, ikuti prosedural yang dipakai oleh negara, demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.”

Dalam dialektikanya Marx berpandangan bahwa negara tidak mengabdi kepada kepentingan masyarakat, melainkan hanya melayani kepentingan kelas-kelas sosial tertentu saja, menjadi suatu alat bagi klas dominan untuk mempertahankan kedudukan mereka (Magnis Suseno, 1991). Masih menurut filsuf ini bahwa perkembangan masyarakat ditentukan oleh bidang produksi. Dengan demikian bidang ekonomi merupakan basic-structure, sedangkan dua dimensi kehidupan masyarakat lainya, institusi-institusi sosial, terutama negara dan bentuk-bentuk kesadaran sosial merupakan bangunan atas (super-structure). Sehingga hal tersebut mengelompokan kelas menjadi dua pondasi awal yaitu kelas borjuis atau pemodal dan kelas proletar atau pekerja.

Dari dua kelompok inilah tataran sistemik negara akan terbangun. Tergantung siapa yang paling kuat yang akan berkuasa dan menentukan sistem. Jika ditarik kontradiksinya, hegemoni borjuasi memang begitu kuat. Sebab mereka punya segala-galanya untuk mencapai tujuan mereka. Hal tersebut terjadi karena tidak ada kontrol dari kelas pekerja. Sebab kelas pekerja terjebak logika yang dipakai kaum borjuis. Kontradiksi di negara kita adalah bahwa tidak adanya persatuan di antara kelas pekerja. Bahkan banyak aktor sosial dari kelas pekerja justru menjadi penghisap bagi kelompoknya sendiri. Hal itu disebabkan karena kelompok borjuis akan senantiasa menginginkan terjadinya pergolakan horisontal. Sehingga tidak terjadi progresivitas pola pikir baik berpolitik dan analisis sosial terhadap lingkungan. Hal ini diperparah kelas pekerja di negara kita sulit mengakses pendidikan. Adapun pendidikan yang diterima adalah pendidikan yang sudah direkayasa oleh kaum borjuasi. Saat ini, langkah yang bisa dilakukan adalah membangunkan kembali kesadaran kelas. Sebab dengan persatuan kelas pekerja akan memberikan sebuah perlawanan untuk menciptakan keseimbangan agar sistem yang dibuat lebih bersifat humanis.

Berpolitik bagi rakyat pekerja

Politik adalah kunci yang harus dipahami dan dilakukan oleh kelas pekerja. Sebab jika kita berkaca pada bangunan yang dinamakan negara, unsur politik tidak akan pernah bisa dilepaskan di dalamnya. Sebab tata aturan main dalam kehidupan bernegara dibuat berdasarkan unsur tersebut. Siapa melayani siapa? Itulah pertanyaan yang harus segera dipecahkan. Negara adalah organ kekuasaan kelas, organ penindasan dari satu kelas terhadap kelas yang lain, ia adalah ciptaan "tata-tertib" yang melegalkan dan mengekalkan penindasan dengan memoderasikan bentrokan antar kelas. Menurut pendapat politikus-politikus borjuis, tata-tertib adalah justru pendamaian kelas-kelas dan bukan penindasan atas kelas yang satu oleh kelas yang lain. Meredakan konflik berarti mendamaikan dan bukan merampas sarana dan metode-metode perjuangan tertentu dari kelas tertindas untuk menggulingkan kaum penindas. Kontradiksi riil adalah pembanyolan tentang pembuatan tata-tertib atau yang biasa disebut dengan undang-undang. Mayoritas undang-undang yang dibuat oleh pemerintah tidak ada yang berpihak kepada rakyat. Justru undang-undang tersebut dibuat untuk menutupi kelemahan pemerintah dalam mensejahterakan kelompok masyarakat. Yang diakomodir dalam undang-undang tersebut hanyalah sekelompok pemilik modal yang berperan atau memliki hubungan kekerabatan dengan pemerintah.


* Penulis adalah anggota Serikat Berdaya Mahasiswa-Unpas Bandung, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

Sumber: www.prakarsa-rakyat.org

Baca Selengkapnya......

Israel, Berhentilah Berlagak Menjadi Korban

Jakarta - Dalam bukunya "They Dare to Speak Out" yang diterbitkan pada 1985, mantan anggota Kongres, Paul Findley, mengungkapkan betapa kuatnya cengkeraman lobi Yahudi dan Israel di Amerika Serikat, terutama dalam masalah Timur Tengah, sehingga orang Amerika atau Barat yang berani mengkritik Israel dicap sebagai anti Yahudi dan pendukung Nazi.

Findley mengungkapkan, orang-orang kritis yang posisinya lemah telah diintimidasi dan disingkirkan, sementara yang lebih kuat diasingkan untuk kemudian dimiskinkan secara politik dan ekonomi, dideskreditkan oleh media massa, bahkan dilenyapkan sama sekali.

Senator Joseph Raymond McCarthy dari Partai Republik adalah salah seorang korbannya. Dia diasingkan dari ranah politik AS dandideskreditkan oleh media massa sebagai komunis, bahkan penyebab kematiannya pun tidak jelas.

Kini, setelah agresi Israel ke Gaza, sebagian orang Amerika dan Barat mulai mengeluarkan kritik tajam pada Israel, bahkan beberapa diantaranya cenderung anti Yahudi.

Di Yunani, pada 29 Desember, Harian Avriani mengaitkan Perang Gaza dengan lobi Yahudi, "Setelah Yahudi Amerika menguasai kembali(sistem)kemakmuran dunia dan menenggelamkan dunia dalam satu krisis keuangan yang tak pernah terjadi sebelumnya, mereka mulai berlatih untuk (persiapan) Perang Dunia Ketiga."

Sementara itu, di Italia, asosiasi dagang bernama Flacia-Uniti menyeru warga kota Roma untuk memboikot segala produk usaha buatan komunitas Yahudi.

"Kami tidak bisa terus diam terhadap apa yang sedang terjadi di Gaza. Kami telah membuat daftar pengusaha (Roma) yang berhubungan dengan TelAviv karena rakyat (Italia) tidak tahu siapa mereka," kata Giancarlo Desiderati, otak dibalik prakarsa boikot itu.

Di AS, suara kritis terhadap Israel menyalak, bukan hanya dari keturunan Arab, tapi juga non Arab yang muak pada eksploitasi nasib buruk Israel di masa pasca Perang Dunia Kedua, demi membenarkan serangan kejinya ke Palestina.

Salah seorang warga AS yang mengkritik Israel adalah aktor, sastrawan, sosiolog, dan pengarang buku terkenal "The Pursuit of Loneliness," Philip Slater.

Dalam Huffington Post edisi 6 Januari 2009 yang dipublikasikan lagi Middle East Times pada 19 Januari, Philip menyampaikan opini berjudul,"A Message to Israel: Time to Stop Playing the Victim Role."

Berikut adalah terjemahan artikel Philip.

Di awal tulisannya, Philip menyatakan dia tak bisa memahami Israel yang selama ini dibela bangsanya, berubah menjadi agresor dengan masih saja mendramatisir nasibnya di masa lalu sebagai korban permusuhan Arab.

"Kalian tak perlu lagi pura-pura menjadi korban. 'Israel yang malang' terdengar aneh manakala kalian justru menjadi kekuatan dominan di Timur Tengah, " kata Philip.

Saat kalian menduduki beberapa tetanggamu, membom dan menaklukannya di medan perang, menguasai tanah mereka, dan mengusirnya dari rumah-rumah mereka, maka saatnya untuk berhenti berpura-pura tertindas.

Ya benar, negara-negara Arab menolak keberadaanmu, mengancam akan membuang kalian ke laut, dan semua itu retorika palsu. Faktanya adalah kalian kuat, mereka (Arab) tidak. Kalian punya senjata canggih, mereka tidak. Kalian bersenjata nuklir, mereka tidak. Jadi berhentilah bersikap cengeng. Itu tak laku lagi.

Ya, saya tahu, kami rakyat Amerika mesti berbicara dan selalu bergetar saat mendengar nama teroris, "negara brandal" dan "kekaisaran iblis"saat kami memiliki cukup nuklir untuk meledakkan dunia dan berbelanja senjata lebih besar dari negara manapun. Tetapi, hanya karena kami hipokrit dan gelisah, tidak berarti kalian harus seperti kami.

Philip berkata, menyebut Hamas agresor sungguh tidak pantas karena Jalur Gaza lebih dari sebuah kamp konsentrasi besar Israel dimana warga Palestina diserang semau Israel dan harus menderita kesulitan makan, bahan bakar, energi, bahkan suplai obat-obatan.

"Mereka tidak bisa berkeliaran dan mesti membuat terowongan untuk menyelundupkan kebutuhan hidup sehari-harinya. Mereka tak akan kalian perhatikan jika tidak menembakkan roket-roketnya pada kalian."

Philip menulis, lobi Israel bereaksi sejadi-jadinya manakala mereka dituduh mengadopsi metodologi Nazi yang telah menyiksa mereka, untuk menghukum sebuah bangsa dengan menyerang bagian kecil bangsa itu dan secara konsisten dilakukannya di Gaza.

Israel, demikian Philip, telah melanggar hukum internasional, sebuah hukum yang ironisnya pernah diterapkan untuk mengadili praktik keji yang dilakukan Nazi kepada bangsa Yahudi semasa Perang Dunia Kedua.

"Ayolah, pisahkan kami dari kemunafikan dengan mengatakan setiap upayaIsrael adalah demi mencegah korban sipil. Saat kalian menjatuhkanbom- bom di satu kota padat penduduk, kalian membom peradaban. Bom tak pernah bertanya apa KTPmu.

Bom adalah pembunuh rakyat sipil. Bom-bom dirancang untuk menjatuhkan semangat sebuah bangsa dengan membantai keluarga-keluarga. Bom digunakan selama Perang Dunia Kedua oleh semua pihak dengan tujuan meruntuhkan semangat bangsa. Dan ini pula yang dilakukan di Gaza.

Ayolah Israel, cobalah tahan diri kalian untuk tak berkilah dengan argumen menyesatkan yang dipinjam dari Bush, bahwa para pemimpin Hamas bersembunyi di tengah rakyatnya, meninggalkan rumah-rumah mereka.

Yang sesungguhnya terjadi adalah Israel ingin menggiring mereka ketempat-tempat yang tidak ada penduduknya, padahal tak ada satu pun lahan kosong penduduk dan pemukiman di Gaza. Jadinya, para pejuang Hamas bolak balik di daerah padat penduduk itu."

Philip melanjutkan, Israel telah membom tiga sekolah PBB dan membunuh lusinan anak-anak serta orang dewasa, meskipun faktanya PBB memberikalian koordinat semua sekolahnya di Gaza agar sekolah-sekolah itut idak menjadi sasaran pemboman karena PBB ingin mencegah jatuhnya korban sipil dengan tanda itu sehingga kalian tak mungkin
membomnya. Alih- alih Israel membom sekolah-sekolah itu.

"Tampaknya kalian merasa bisa membunuh siapapun, kapanpun dan dimanapun kalian suka, hanya karena kalian mendapat restu dari Amerika Serikat,"kata Phiilip.

Setiap hari serangan yang dilancarkan ke Pelestina, kalian semakin terlihat melecehkan PBB, masyarakat internasional dan hidup manusia. Persis prilaku negara berandal.

Kalian mungkin juga memberi perhatian pada fakta bahwa kebijakan kuno kalian yang sok jagoan --kebijakan yang kalian lakukan berdekade- dekade-- tidak berhasil!

Bangsa Palestina itu manusia. Mereka bukan anjing yang bisa kalian perintah. Makin buruk kalian perlakukan mereka, makin ingin mereka melawanmu. Itulah arti menjadi manusia. Semakin keras kalian tindas, semakin kuat mereka melawan.

Kami (AS) pernah membom Vietnam dengan jumlah lebih banyak dari seluruh bom yang dijatuhkan selama Perang Dunia Kedua. Itu belum termasuk bom napalm (bom curah), herbisida (bom biologi) dan semua jenis ranjau darat canggih. Tapi, apakah mereka (bangsa Vietnam) lantas bersujud dan mencium lutut penjajahnya? Tidak, mereka pantang tunduk.

Kalian mesti membunuh mereka semua. Dan saat kalian melakukan itu, kalian akhirnya tidak akan lagi didukung siapapun, bahkan Amerika Serikat.

Ingatlah, bahwa dukungan Amerika kepada kalian seluruhnya didasarkan pada gagasan bahwa tidak ada satu pun politisi (AS) memenangkan pemilu tanpa dukungan suara Yahudi.

Tapi tak semua Yahudi Amerika berpikir Israel mengemban misi agung dari Tuhan. Banyak warga Yahudi Amerika lebih mempercayai hukum dan keadilan internasional.

Saya bisa mengerti Israel jengkel mendapat pelajaran seperti ini dari seorang Amerika. Tapi bukankah ini yang telah kami orang Amerika lakukan? Mendatangi negara orang lain, membantai 95% penduduknya untuk kemudian mengambilalihnya?

Ketika yang dirampas tanahnya serentak melawan, agresor (Israel ditanah Arab) panik dan segera menyebut agresinya ke tanah orang lain itusah meskipun dengan melakukan pembantaian genosidal.

"Mohon maaf saya mesti katakan padamu wahai Israel, kalian ketinggalan zaman. Alasan genosida tidak lagi laku. Saya tahu ini tak adil, kalian memiliki hak untuk tersinggung dengan semua ini, namun dunia itu semakin kecil, gaya koboy itu sudah kuno, dan para algojo tidak lagi menjadi pahlawan," kata Philip menutup tulisannya. (*)(ANT )

Sumber: Huffington Post dan Middle East Times

Baca Selengkapnya......

Sunday, January 11, 2009

Golput Bukan Ancaman

Menghadapi Pemilu 2009, Kiki Syahnakri tampak khawatir dengan potensi menguatnya golongan putih alias golput.

Kiki Syahnakri menulis banyaknya golput, terutama dalam pilkada belum lama ini, merupakan salah satu sisi negatif yang membayangi Pemilu 2009. Alasannya: banyaknya golput bisa berarti keterpilihan pemimpin tidak mencerminkan kehendak rakyat secara utuh.

Dengan kata lain, menurunkan kredibilitas dan legitimasi pemerintah yang dihasilkan sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan politik yang bisa merusak integritas bangsa dan negara.

Ia pun berharap, "jangan lagi ada tokoh yang menyerukan boikot pemilu atau mendukung golput. Ia juga mengharapkan adanya etika demokrasi dan kompetisi yang sehat menuju Pemilu 2009" (Kompas, 6/1/2009).

Realitas politik

Dalam kacamata formal, banyaknya golput bisa berarti seperti
digambarkan Kiki Syahnakri.Namun, dalam soal politik sebagai strategi, kita harus realistis dan memandang golput sebagai realitas politik yang sedang berlangsung dan memiliki potensi terhadap kemenangan dan kekalahan partai tertentu.

Hanya partai yang solid keanggotaannya tak akan terpengaruh kampanye golput. (Apalagi) golput di era kini belum bisa digambarkan sebagai satu kekuatan politik yang terorganisasi, seperti pada Pemilu 1997 yang kian dapat mendeligitimasi rezim Orde Baru. Pada pemilu kali ini, golput masih merupakan gambaran abstrak yang bisa diolah dalam rangka memenangi partai tertentu bila partai itu sanggup, mengingat politik kepartaian kita pada masa reformasi masih dibayangi floating mass hasil depolitisasi Orde Baru selama 32 tahun.

Dalam hal tertentu, golput pada era reformasi bukan kesadaran politik, tetapi mungkin lebih banyak pada ke-apatis-an untuk mengikuti pemilu karena sudah muak dan tidak percaya terhadap lembaga politik dan bisa jadi juga tidak peduli saat hak pilihnya dalam Pemilu 2009 tidak diberikan sebagaimana mestinya oleh petugas yang bertanggung jawab untuk itu.

Sebagai gambaran, kita bisa membaca pernyataan Bre Redana terkait peran kelas kreatif dan momentum Pemilu 2009: "Perubahan gaya hidup memengaruhi perubahan dunia kini. Peningkatan kualitas kehidupan boleh kita harapkan pada individu-individu yang mendorong berkembangnya ekonomi kreatif, bukan pada para caleg yang fotonya terpampang di poster-poster butut" (Kompas Minggu, 4/1/2009).

Pernyataan itu juga dapat diartikan sebagai sikap apatis atau tak adanya harapan pada para aktivis politik yang kini sedang berjuang di medan parlementarian (entah untuk melakukan perubahan atau mempertahankan status quo, tentu ini soal lain).

Kebebasan

Golput tentu saja banyak dimensi dalam alam demokrasi di era reformasi. Tak bisa disimpulkan sebagai ancaman begitu saja karena rakyat relatif punya kebebasan untuk mendirikan partai masing-masing sesuai tingkat kesadaran politik yang dimiliki.

Justru yang berbahaya dalam pemilu era sekarang adalah menguatnya politik uang dan
kita tahu siapa-siapa yang memiliki uang di negeri ini. Itu artinya demokrasi semakin dijauhkan dari tangan-tangan kerakyatan yang tulus berjuang dan berkehendak mewujudkan demokrasi sebagaimana arti sebenarnya, yaitu Kedaulatan Rakyat.

AJ Susmana Alumnus Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta

Baca Selengkapnya......

Saturday, January 10, 2009

LAGI!!!. TERUNGKAPNYA SKANDAL TIDUR BARENG DI DPR

Kok bisa ya berita yang melibatkan wakil rakyat nan amat terhormat ini bisalolos sebagai headline di media cetak dan herannya juga, pelakunya kok takdiburu-buru peliput TV dan juga dikejar-kejar live report radio? Wah, apa semua wartawan lagi konsentrasi meliput bom ya...?

CERITA ini dua hari lalu merebak kalangan anggota Dewan yang terhormat. Seorang anggota Dewan pada suatu siang ditelepon oleh seorang perempuan. Suara di sana berkata, "Selamat siang Bapak Anggota Dewan." Dari suaranya perempuan itu masih muda.

"Siang." "Ini siapa ya?" tanya anggota Dewan itu. "Saya Anne, yang pernah tidur bersama Bapak waktu itu," jawab si perempuan. "Hahh???" sang anggota DPR terdengar penasaran. "Kalau Bapak tidak ingin rahasia itu terbongkar, Bapak harus memberi saya
uang tutup mulut!" ancam si perempuan. "Oke, baiklah," jawab anggota Dewan itu pasrah.Kemudian dia berpikir, di mana pernah meniduri perempuan tersebut? Di luar negeri? Di luar Jawa? Di luar Jakarta? Atau hanya di seputaran Jakarta saja?

Beberapa hari kemudian si anggota Dewan itu menyerahkan sejumlah uang di suatu tempat yang telah ditentukan. Uang itu diterima oleh kurir sang perempuan.

Tetapi, setelah beberapa hari kemudian, si perempuan itu menelepon lagi dan meminta hal yang sama. Dengan hati yang masih penasaran, anggota Dewan yang terhormat itu mengabulkan permintaannya. Tetapi,anehnya setelah beberapa minggu kemudian, wanita itu meminta hal yang sama dengan ancaman yang sama. Akhirnya, dengan pasrah anggota Dewan itu mengabulkan permintaan tersebut. Walaupun begitu, anggota Dewan itu menjawab dalam teleponnya. "Okelah Aku kabulkan permintaanmu. Tetapi, jangan bikin penasaran gitu dong. Saya cuma ingin tahu emangnya kita pernah tidur bersama dimana dan kapan itu terjadi?"

Wanita itu menjawab dengan sangat lembutnya : "Kita kan sama-sama anggota DPR, kita kan pernah tidur bersama diruang sidang utama pada waktu Bu Megawati membacakan pidato beliau di Gedung MPR-DPR tahun lalu!"

"Hah? Sang anggota DPR pun pingsan karena terlanjur memberi uang kepada wanita itu sebesar Rp 500 juta.....

*Makanya jangan tidur kalau sidang pak!*

Baca Selengkapnya......

Wednesday, January 7, 2009

Korban Kebakaran Datangi Setda

Tuntut Pembangunan Pasar Darurat
TEMANGGUNG- Perwakilan pedagang korban kebakaran Pasar Kliwon Utara Temanggung yang tergabung dalam Forum Bersama Korban Kebakaran (Forbes Kokar), mendatangi kantor Sekretariat Daeerah (Setda), kemarin.

Mereka meminta Pemkab segera membangun pasar darurat. Koordinator Forbes Kokar, Suwahono meminta Pemkab merealisasikan janji dan rencana membangun pasar darurat tersebut.

Sebab para korban kebakaran ingin sesegera mungkin berdagang kembali.Dengan demikian, mereka bisa mendapat penghasilan dan sedikit demi sedikit dapat memulihkan kondisi perekonomian masing-masing. ’’Sebetulnya, kedatangan kami tidak akan membicarakan hal teknis,’’ kata Suwahono dalam pertemuan di aula PKK Setda itu.

Perwakilan pedagang ditemui Ketua Harian Tim Penanganan Pasar Kliwon Paska Kebakaran sekaligus Kepala Bappeda, Rahayu Istanto, Asisten I Setda Indra Haryadi, Asisten II Setda Bambang Dewantoro, serta sejumlah pejabat dari Dinas Pasar, Tramtib, Perhubungan, dan DPU.

Menanggapi permintaan pedagang, Rahayu Istanto mengatakan, Pemkab sebetulnya juga sepakat tentang hal tersebut. Namun, menurut dia, pembangunan pasar darurat belum bisa dilaksanakan. Sebab APBD II 2009 yang mengakomodasi dana pembangunan pasar darurat belum disahkan.
Masih di Koreksi

’’Saat ini, APBD 2009 masih dikoreksi Gubernur. Nanti setelah selesai dan disetujui, APBD 2009 akan disahkan DPRD. Setelah itu, dana pembangunan pasar darurat cair,’’ jelasnya.

Dia pun mengatakan, sebetulnya meski dana belum cair, Pemkab bisa menujuk pelaksana proyek untuk mengerjakan pasar darurat. Namun dengan catatan, APBD 2009 sudah disahkan dan alokasi anggaran pasar darurat tercakup di dalamnya.’’Biaya pembangunan ditanggung pemborong dulu,’’ ujarnya.

Dia pun menambahkan, proses penujukan pemborong proyek membutuhkan waktu setengah bulan. Dalam kesempatan itu, juga dilakukan pencocokan data mengenai los dan kios serta pedagang yang menjadi korban kebakaran, menurut versi Dinas Pasar dan Forbes Kokar.

Ternyata terdapat selisih dalam hal jumlah. Dinas Pasar memasukkan semua pedagang yang menjadi korban kebakaran, sementara Forbes Kokar hanya mendata pedagang yang masih aktif berdagang dan memiliki sertifikat los atau kios. (H24-72)

Baca Selengkapnya......